Pendidikan Dalam Bayang-Bayang Neo Orba:Harapan atau Ancaman

Foto : Wulan Octi Pratiwi, Alumni Pascasarjana Universitas Lampung (UNILA), Kader Mahasiswa Islam.
BENSORINFO.COM – Lampung, Dedikasi untuk Ilmu dan Pergerakan , Sebagai lulusan Pascasarjana Unila dan kader HMI, Wulan Octi Pratiwi membuktikan bahwa dedikasi terhadap ilmu dan pergerakan sosial dapat berjalan beriringan untuk menciptakan perubahan positif. Wulan Octi Pratiwi menuangkan opini dan keperdulian nya di dunia pendidikan.
Gelombang demonstrasi mahasiswa yang menolak pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap potensi kembalinya praktik otoritarianisme ala Orde Baru (Orba). Aksi-aksi ini terjadi di berbagai daerah, seperti Lampung, Malang, Semarang, Mojokerto, dan Mataram, dengan mahasiswa menyerukan penolakan terhadap UU TNI yang dianggap membuka peluang bagi militer untuk kembali berperan dalam ranah sipil.
Namun, kekhawatiran ini tidak hanya terbatas pada ranah politik, tetapi juga merambah ke sektor pendidikan. Sejarah mencatat bahwa pada masa Orde Baru, pendidikan digunakan sebagai alat indoktrinasi untuk mencetak generasi yang patuh dan kurang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kini, muncul kekhawatiran bahwa sistem pendidikan Indonesia mulai menunjukkan gejala serupa, di mana pendidikan tidak lagi menjadi ruang kebebasan berpikir, tetapi justru alat kekuasaan untuk mengontrol generasi muda.
Bayang-Bayang Masa Lalu dalam Pendidikan
Mengenang masa Orde Baru, banyak dari kita yang teringat akan pembatasan kebebasan berpendapat, kontrol ketat terhadap media, serta pemaksaan pola pikir yang homogen. Pendidikan pada masa itu tidak hanya berfungsi sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai alat ideologis yang mendukung rezim otoriter. Kini, di tengah gelombang demokratisasi dan kemajuan teknologi, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga independensi pendidikan dari potensi kontrol kekuasaan.
Tanda-tanda kembalinya kontrol ketat terhadap pendidikan mulai tampak, baik melalui perubahan kebijakan maupun revisi kurikulum. Salah satu indikasi tersebut adalah rencana implementasi kurikulum nasional sebagai program prioritas pada tahun 2025 oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Meskipun pemerintah menegaskan tidak ada perubahan kurikulum nasional, sejarah menunjukkan bahwa setiap pergantian menteri sering kali diikuti oleh perubahan kebijakan pendidikan yang signifikan. Hal ini mencerminkan inkonsistensi yang dapat membingungkan tenaga pendidik dan peserta didik, serta membuka celah bagi masuknya agenda politik tertentu ke dalam sistem pendidikan.
Lebih lanjut, rencana pengembalian Ujian Nasional (UN) pada tahun 2025 menambah daftar kekhawatiran. Pemerintah beralasan bahwa UN diperlukan untuk meningkatkan standar pendidikan nasional dan menyetarakan kualitas lulusan di seluruh Indonesia. Namun, langkah ini juga dipandang sebagai upaya untuk kembali ke sistem penilaian yang sentralistik, yang berpotensi membatasi kreativitas dan kebebasan berpikir siswa.
Pendidikan: Fondasi Kebebasan atau Alat Indoktrinasi?
Dalam konteks ini, pendidikan berisiko kembali menjadi alat kekuasaan jika tidak ada upaya serius untuk menjaga independensi dan kebebasan akademik. Mahasiswa, sebagai agen perubahan, memiliki peran penting dalam mengawal kebijakan pendidikan agar tetap berpihak pada pengembangan pemikiran kritis dan demokratis. Aksi-aksi demonstrasi yang terjadi menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga nilai-nilai demokrasi dalam pendidikan masih kuat.
Jika kita tidak waspada, pendidikan di Indonesia bisa kembali menjadi alat indoktrinasi seperti di masa Orde Baru, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi untuk mengontrolnya. Ini bukan hanya tentang kurikulum, tetapi juga tentang kebebasan akademik, kebebasan berekspresi, dan hak generasi muda untuk membentuk masa depannya sendiri.
Tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa suara-suara kritis ini tidak hanya menjadi gema sesaat, tetapi mampu mendorong perubahan kebijakan yang substansial. Diperlukan sinergi antara mahasiswa, tenaga pendidik, dan masyarakat sipil untuk terus mengawasi dan mengkritisi setiap kebijakan yang berpotensi mengembalikan pendidikan sebagai alat indoktrinasi.
Menjaga Kemerdekaan Berpikir dalam Pendidikan
Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang memerdekakan, bukan membelenggu. Jika kita lengah, bayang-bayang Orde Baru bisa kembali menyelimuti ruang kelas kita, mengancam kebebasan berpikir dan berekspresi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
Lebih jauh, pendidikan yang tidak mengedepankan keberagaman, pluralisme, dan pemahaman kritis terhadap sejarah berisiko melahirkan generasi yang tidak memahami pentingnya kebebasan berpikir dan berpendapat. Dalam kondisi seperti ini, kita akan melihat kebangkitan kembali pola pikir yang terkekang, di mana kebebasan berekspresi semakin terancam.
Namun, masih ada harapan. Pendidikan harus menjadi wadah untuk mengembangkan karakter dan intelektualitas, bukan alat untuk mempertegas kekuasaan. Penting untuk melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang berfokus pada pembebasan intelektual dan kemerdekaan berpikir, bukan justru membatasi atau mengarahkan pemikiran ke arah tertentu.
Pendidikan harus menjadi jalan pembebasan, bukan jerat yang membungkam pikiran. Kita harus bertanya: apakah kita akan membiarkan sejarah terulang, ataukah kita akan berdiri melawan upaya membentuk generasi yang dikendalikan? Karena jika kita diam, bayang-bayang Orba bisa kembali menyelimuti ruang kelas kita.
Oleh karena itu, kita perlu menjaga ketajaman dalam memantau perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Hanya dengan kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, kita dapat memastikan bahwa pendidikan tidak kembali menjadi alat pengontrolan yang mengekang kebebasan, dan Indonesia tidak terperangkap kembali dalam kegelapan masa Orba.(Wulan Octi Pratiwi)
Editor : Iffa. Yy., A.Md, Kom
BENSORINFO.COM